Ia juga mengkritik mekanisme pemeriksaan yang kerap menyesatkan. Menurutnya, pengguna kerap dijebak dalam proses hukum cacat hanya karena menjawab “sehat” saat ditanya polisi, padahal sebenarnya mereka sedang dalam kondisi ketergantungan.
Lebih lanjut, Hinca mengkritik kebijakan pemerintah yang menurutnya terlalu menekankan aspek seremonial dalam pemberantasan narkoba, alih-alih langkah konkret. Ia menilai anggaran negara malah membengkak untuk membiayai penjara, bukan rehabilitasi.
“Saya usulkan pada HUT ke-80 RI nanti, Presiden Prabowo mengeluarkan amnesti massal bagi pengguna narkotika. Ini bentuk pengakuan bahwa negara keliru dalam kebijakan hukumnya,” ujarnya.
Tak hanya itu, ia juga menyentil Kementerian Kesehatan yang dinilai gagal memenuhi komitmen untuk meneliti ganja medis.
“Saya minta Menteri Kesehatan mundur. Negara gagal menyelamatkan anak bernama Pika karena tidak segera meneliti ganja medis. Itu bentuk nyata ketidakadilan,” seru Hinca.
Hinca turut menyinggung program “desa bersinar” (bersih narkoba) yang menurutnya lebih banyak berhenti di permukaan.
Ia mengusulkan pendekatan lebih konkret: menjadikan kepala desa sebagai agen intelijen BNN di lapangan.
“Saya sudah mulai di Asahan, Sumut. Ada satu desa yang rutin pasang baliho ‘Usir Bandar Narkoba dari Kampung Kami’ dan tiap Jumat keliling kampung. Ini bukan hanya simbolik, tapi aksi nyata,” ujarnya.