Gedor.id – Burung Rangkong, salah satu satwa langka yang dilindungi undang-undang, diduga telah ditukar secara ilegal oleh oknum di Balai Karantina Sulawesi Selatan.
Dugaan ini muncul setelah seekor burung rangkong yang sebelumnya dikirim dari Makassar ke Surabaya tanpa dokumen resmi dikembalikan, namun satwa yang kini berada di instalasi karantina Sulsel tidak lagi memiliki ciri-ciri yang sama dengan spesimen asli.
Pemerhati satwa mencium adanya indikasi kuat bahwa burung tersebut telah diganti, sehingga menimbulkan kecurigaan adanya praktik penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan satwa dilindungi.
Burung rangkong itu semula dikirim ke Surabaya tanpa disertai dokumen sah dari Karantina Sulsel. Karena tak sesuai aturan, Karantina Surabaya menolak dan mengembalikannya ke Makassar.
Setelah kembali ke Sulsel, burung tersebut tidak diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sebagaimana mestinya, melainkan dititipkan ke pihak luar dengan dalih “penitipan sementara” karena instalasi karantina disebut sedang dalam perbaikan.
Setelah kasus ini menjadi sorotan publik dan viral di media sosial, burung itu dikembalikan lagi ke Balai Karantina Sulsel.
Pemerhati satwa menduga keras bahwa burung yang dikembalikan bukan lagi burung yang sama. Spesimen yang sekarang berada di instalasi karantina disebut memiliki perbedaan mencolok dengan burung rangkong sebelumnya, terutama pada paruh, mata, dan jambul.
“Hilang aslinya, muncul yang berbeda. Kami menduga kuat telah terjadi penukaran burung. Spesies dan ciri fisiknya tidak identik. Ada perbedaan mencolok pada bagian paruh, mata, dan jambul,” tegas salah satu pemerhati satwa dalam keterangan tertulisnya yang diterima media ini pada Rabu (18/6/2025).
Selain dugaan penukaran, tindakan Karantina Sulsel yang menyerahkan satwa dilindungi ke pihak luar juga dinilai menyalahi aturan.
Sebab sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019, fungsi karantina hanyalah sebatas pengawasan lalu lintas media pembawa di pintu masuk dan keluar wilayah, bukan untuk pemeliharaan atau penitipan satwa, apalagi kepada pihak yang tidak berwenang secara hukum.
Pernyataan Karantina Sulsel yang menyebutkan bahwa burung hanya dititipkan sementara karena instalasi dalam perbaikan, justru menimbulkan pertanyaan besar.
Pemerhati satwa mempertanyakan siapa sebenarnya “pihak luar” yang dimaksud, dan apakah benar burung tersebut pernah dititipkan ke Pj Gubernur Sulsel seperti yang ramai diberitakan.
“Kalau benar yang dimaksud pihak luar adalah Pj Gubernur Sulsel, maka ini kekeliruan prosedural serius. Pejabat publik tidak memiliki kapasitas hukum sebagai penitipan satwa dilindungi. Kenapa tidak langsung ke BKSDA?” ujarnya.
Pemerhati juga menilai bahwa klarifikasi Karantina Sulsel yang menyatakan penempatan burung ke luar adalah solusi darurat di bawah pengawasan ketat, adalah alibi yang lemah.
Sebab tindakan seperti itu dapat dikategorikan sebagai bentuk diskresi di luar kewenangan dan bisa dianggap sebagai penyalahgunaan jabatan.
“Yang patut diberi apresiasi adalah Karantina Surabaya, karena mereka tegas menolak satwa yang dikirim tanpa dokumen sah. Sementara Karantina Sulsel justru bermasalah sejak awal,” bebernya.
Kini, yang menjadi pertanyaan krusial adalah: Apakah burung rangkong yang dikembalikan ke karantina saat ini benar-benar sama dengan burung yang dulu ditolak di Surabaya?
Untuk itu, pemerhati satwa burung langka mendesak agar aparat penegak hukum dan instansi terkait segera melakukan investigasi menyeluruh serta forensik satwa jika diperlukan.
Pemerhati satwa juga mengingatkan semua pihak agar tidak melakukan manipulasi bukti maupun dokumen yang berkaitan dengan kasus ini.
“Jika terbukti ada permainan, ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini bisa masuk ranah pidana lingkungan dan penyalahgunaan wewenang. Jangan pernah main-main dengan satwa dilindungi, karena konsekuensi hukumnya sangat berat,” pungkasnya.